“OM SWASTIASTU OM”
Saya mengutip tulisan dari seorang tokoh/ pakar dalam hal ini yaitu: I Gusti Bagus Sugriwa (alm) di mana beliau merumuskan bahwa "nyanyian" atau "tembang" di Jawa dan di Bali mempunyai kemiripan, dapat digolongkan dalam empat kategori:
Gegendingan adalah sekumpulan kalimat bebas yang dinyanyikan. Isinya pada umumnya pendek, dan sederhana. Dikatakan bebas karena benar-benar tidak ada ikatannya. Antara tiap kalimat tidak harus mempunyai arti yang membentuk cerita atau pengertian, dan kadang-kadang kalimat yang terbentuk dari kata-kata itu juga tidak mempunyai arti yang jelas.
Ada tiga jenis gegendingan:
a. Gending Rare
a. Gending Rare
Gending Rare atau Sekar Rare mencakup berbagai jenis lagu-lagu anak-anak yang bernuansa permainan. Jenis tembang ini pada umumnya memakai bahasa Bali sederhana, bersifat dinamis dan riang, sehingga dapat dilagukan dengan mudah dalam suasana bermain dan bergembira.
Biasanya tiap lagu dilengkapi (atau sebagai pelengkap dari) sebuah permainan (dolanan) yang bertema sama. Tetapi ada juga yang berdiri sendiri, sebagai lagu-lagu rakyat (gegendingan) yang bentuknya sangat sederhana. Baik lagu anak-anak maupun lagu rakyat tidak terlalu diikat oleh hukum / uger-uger seperti Guru Lagu atau Padalingsa. Beberapa contoh dari jenis tembang ini antara lain:
| Judul |
1 | Meong-meong |
2 | Juru Pencar |
3 | Ongkek-ongkek Ongke |
4 | Indang-indang Sidi |
5 | Galang Bulan |
6 | Ucung-ucung Semanggi |
7 | Pul Sinoge |
| dan masih banyak lagi... |
Pada jenis gending ini, ada yang seluruh baitnya merupakan isi, dan ada pula yang mengandung bait- bait sampiran bahkan ada yang hanya berupa sampiran tanpa isi yang jelas artinya.
Gending Jejanggeran ini sama dengan Gending Rare dan biasanya dinyanyikan bersama-sama saling sahut-menyahut antara kelompok satu dengan yang lain. Ada yang menjadi janger (kelompok putri) ada yang menjadi kecak (kelompok putra).
Lama kelamaan Gending Jejangeran ini dinyanyikan juga oleh orang-orang dewasa di dalam tontonan dengan jalan memberi variasi gerak-gerik atau variasi lakon (lelampahan)
Contoh Gending Jejangeran ini antara lain:
Lama kelamaan Gending Jejangeran ini dinyanyikan juga oleh orang-orang dewasa di dalam tontonan dengan jalan memberi variasi gerak-gerik atau variasi lakon (lelampahan)
Contoh Gending Jejangeran ini antara lain:
| Judul |
1 | Putri Ayu |
2 | Siap Sangkur |
3 | Mejejangeran |
| dan masih banyak lagi... |
c. Gending Sanghyang
Gending Sanghyang dinyanyikan untuk menurunkan (nedunang) Sanghyang-Sanghyang, misalnya pada prosesi budaya peninggalan jaman pra-Hindu dalam tarian sakral Sanghyang, yang meliputi tarian Sanghyang Dedari, Sanghyang Deling, Sanghyang Jaran, Sanghyang Bojog, Sanghyang Celeng, Sanghyang Sampat dan sebagainya. Sistem atau ortenan tembang-tembang ini sama dengan gending-gending rare lainnya, pengertian yang dihasilkan dari isi gending ini sering abstrak, dan tidak menentu karena sulit dicerna. Ini sesuai dengan kaidah gegendingan yang tidak menuntut pengertian yang utuh dan runtut seperti halnya Tembang Macapat.
Contoh dari gending- gending Sanghyang adalah:
|
Berbeda dengan Sekar Rare (lagu anak-anak maupun lagu rakyat), kelompok Sekar Alit, yang biasa disebut tembang macapat, gaguritan atau pupuh, terikat oleh hukum Padalingsa yang terdiri dari guru wilang dan guru dingdong. Guru wilang adalah ketentuan yang mengikat jumlah baris pada setiap satu macam pupuh (lagu) serta banyaknya bilangan suku kata pada setiap barisnya. Bila terjadi pelanggaran atas guru wilang ini maka kesalahan ini disebut elung. Selanjutnya guru dingdong adalah uger-uger yang mengatur jatuhnya huruf vokal pada tiap-tiap akhir suku kata. Pelanggaran atas guru dingdong ini disebut ngandang. Tentang istilah macapat yang dipakai untuk menyebut jenis tembang ini adalah sebuah istilah dari bahasa Jawa. Kelompok tembang ini disebut tembang macapat karena pada umumnya dibaca dengan sistem membaca empat-empat suku kata (ketukan).
Adapun jenis-jenis tembang macapat (pupuh) yang terdapat di Bali dan yang masih digemari oleh masyarakat, di antaranya adalah:
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Masing-masing pupuh yang tersebut di atas mengandung suasana kejiwaan yang berbeda-beda. Suasana yang ditimbulkan oleh pupuh tersebut sangat berguna untuk mengungkapkan suatu suasana dramatik dari suatu cerita / lakon. Secara umum hubungan antara suasana dengan jenis pupuh dapat dilukiskan sebagai di bawah ini: | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sekalipun demikian, pengaruh dari si penyanyi yang membawakan pupuh tersebut dapat mengubah suasana yang ditimbulkan oleh pupuh tersebut. Perlu pula diketahui bahwa kelompok tembang ini disebut pupuh adalah berdasarkan bagan atau kerangka lagu yang ada pada masing - masing pupuh ini. Berdasarkan isi atau cerita yang diungkapkan, jenis tembang ini juga di sebut Guritan menurut cerita yang dikandungnya. Guritan Basur berarti tembang macapat yang mengungkapkan cerita Basur. Begitu pula halnya Guritan Jayaprana, Sampik, Linggarpetak dan lain sebagainya. Bahasa yang dipakai dalam kelompok tembang macapat ini adalah bahasa Kawi (jawa Kuno) dan bahasa Bali. Berdasarkan hukum Padalingsanya tembang - tembang macapat Bali ini dapat disusun seperti tabel berikut ini: | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Sekar Madya yang meliputi jenis-jenis lagu pemujaan, umumnya dinyanyikan dalam kaitan upacara, baik upacara adat maupun agama. Kelompok tembang yang tergolong sekar madya pada umumnya mempergunakan bahasa Jawa tengahan, yaitu seperti bahasa yang dipergunakan di dalam lontar/ cerita Panji atau Malat, dan tidak terikat oleh Guru Lagu maupun Padalingsa. Yang ada di dalamnya adalah pembagian-pembagian seperti :
Pangawit | Pembuka |
Pamawak | bagian yang pendek |
Panama | bagian yang panjang |
Pangawak | bagian utama dari tembang |
Tembang- tembang yang tergolong dalam kelompok ini di antaranya yang paling banyak adalah Kidung atau Kakidungan. Kidung diduga datang dari Jawa abad XVI sampai XIX akan tetapi kemudian kebanyakan ditulis di Bali. Hal ini dapat dilihat dari struktur komposisinya terbukti dengan masuknya ide-ide yang terdiri dari Pangawit, Panama dan Pangawak yang merupakan istilah-istilah yang tidak asing lagi dalam tetabuhan Bali.
Di Bali kidung-kidung selalu dilakukan dan dimainkan bersama-sama dengan instrumen. Lagu - lagu kidung ini ditulis dalam lontar tabuh-tabuh Gambang dan oleh karena itulah laras dan namanya banyak sama dengan apa yang ada dalam penggambangan, menggunakan laras pelog Saih Pitu (Pelog 7 nada) yang terdiri dari 5 nada pokok dan 2 nada pemaro/ tengahan.
Modulasi yaitu perubahan tangga nada ditengah-tengah lagu sangat banyak dipergunakan. Beberapa jenis kidung yang masih ada dan hidup di Bali antara lain:
Aji Kembang | Kaki tua | Sidapaksa | Ranggadoja |
Rangga Lawe | Pamancangah | Wargasari | Pararaton |
Dewaruci | Sudamala | Alis-alis Ijo | Bhrahmana sang Uttpati |
Caruk | Bhuksah | dan lain-lainnya | |
Selain kidung,ada pula jenis tembang lain yang dapat dimasukkan ke dalam kelompok Sekar Madya, yakni Wilet dengan jenis-jenisnya meliputi:
Mayura | Jayendria | Manjangan Sluwang | Silih-asih |
Sih Tan Pegat | dan lain-lainnya. | | |
Sekar Agung atau Tembang Gede meliputi lagu-lagu berbahasa Kawi yang diikat oleh hukum guru lagu, pada umumnya dinyanyikan dalam kaitan upacara, baik upacara adat maupun agama. Jenis tembang Bali yang termasuk dalam kelompok Sekar Agung ini adalah Kakawin. Kakawin adalah puisi Bali klasik yang berdasarkan puisi dari bahasa Jawa Kuna. Dilihat dari segi penggunaan bahasanya, Kakawin banyak mengambil dasar dari puisi Sanskerta yang kemudian diterjemahkan dan disesuaikan, sehingga mempunyai kekhasan tersendiri.
Ada dugaan bahwa Kakawin ini diciptakan di Jawa pada abad IX sampai XVI. Di dalam Kakawin terdapat bagian-bagian sebagai berikut:
Pengawit (penyemak) | pembukaan |
Panampi ( pangisep) | |
Pangumbang | |
Pamalet Kakawin | dilakukan dengan diselingi terjemahannya. |
Masyarakat Bali mengenal banyak jenis Kekawin seperti:
| Jenis |
1 | Aswalalita |
2 | Wasantatilaka |
3 | Tanukerti |
4 | Sardulawikradita |
5 | Watapatia Wangeasta |
6 | Wirat |
7 | Çekarini |
8 | Girisa |
9 | Prtiwitala |
10 | Puspitagra |
11 | Saronca |
| |
| dan masih banyak lagi... |
Di samping tembang-tembang di atas masih ada beberapa jenis untaian kata bertembang yang sukar untuk dimasukkan ke dalam kelompok-kelompok yang bertembang. Jenis-jenis kata bertembang yang dimaksud adalah:
Sasonggaan | Kalimat kiasan yang dapat dipakai untuk menggambarkan suatu peristiwa |
Bladbadan | Kalimat yang mengandung arti kiasan |
Wawangsalan | Kalimat bersajak |
Sasawangan | Kalimat perbandingan |
Papindaan | Kalimat perbandingan |
Tandak | Kalimat yang dilagukan melodinya diharmoniskan dengan nada yang diikutinya |
Pangalang | Tembang pendahuluan |
Sasendon | Semacam tandak yang dipergunakan untuk menggarisbawahi suatu drama |
Untuk dapat menyanyi dengan baik seorang penembang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
| Suara harus bagus dan tahu pengolahannya |
| Nafas panjang serta tahu mengaturnya |
| Mengerti masalah laras (selendro dan pelog) |
| Mengerti tetabuhan dan menguasai perihal matra |
| Tahu hukum/uger-uger yang ada pada masing-masing kelompok tembang |
| Memahami seni sastra |
Gegendingan digunakan bukan untuk mendukung upacara, tetapi lebih bersifat hiburan, dan dewasa ini gegendingan sudah banyak menggunakan irama pop dijual dalam bentuk kaset ada yang berbahasa Bali ada yang bahasa Indonesia.
Pupuh, Kidung, dan Kakawin adalah untuk mendukung suatu upacara dalam kaitan Panca Yadnya. Irama dan liriknya sudah diatur sesuai dengan tujuan upacara. Jadi mereka yang melakukan pupuh, kidung dan kakawin mestinya tidak hanya pandai melantunkan saja, tetapi juga pandai menempatkan pada situasi yang tepat.
Misalnya untuk kidung:
1. Pada upacara Dewa Yadnya di tembangkan kidung:
o Tatkala nuntun Ida Bhatara: Kawitan Wargasari, Wargasari;
o tatkala muspa: Mredu Komala, Totaka;
o tatkala nunas tirta: wargasari;
o tatkala nyineb: warga sirang.
2. Untuk Rsi Yadnya digunakan: Rsi Bojana: Wilet Mayura, Bramara Sangupati, Palu Gangsa.
Untuk Diksa digunakan Rara Wangi.
Untuk Diksa digunakan Rara Wangi.
3. Untuk Manusa Yadnya:
o Upacara Raja Swala: Demung sawit,
o Upacara metatah: Kawitan Tantri, Demung Sawit;
o Upacara mapetik: Malat Rasmi,
o Upacara pawiwahan: Tunjung Biru.
4. Untuk upacara Pitra Yadnya:
o nedunang/ nyiramang layon: Sewana Girisa, Bala Ugu.
o Untuk memargi ke setra: Indra Wangsa.
o Untuk mengurug kuburan (gegumuk): Adri.
o Untuk Ngeseng sawa: Praharsini;
o untuk Ngereka abu: Aji Kembang;
o untuk nganyut abu ke segara: Sikarini, Asti;
o Untuk Nyekah (Atma Wedana): Wirat Kalengengan.
5. Untuk Bhuta Yadnya: Pupuh Jerum, Alis-alis Ijo, Swaran Kumbang.
6. Untuk upacara pelantikan pejabat: Perigel.
Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa Kuno (Kawi), dengan tulisan huruf Bali. Tulisan ini bukan tulisan Bali biasa tetapi sudah di modifikasi untuk keperluan menetapkan irama dan tekanan (stressing), terutama pada kakawin: apada, wrtta matra, guru laghu, gana matra, canda karana, guru bhasa, guru lambuk dan purwa kanti.
Para penyanyi sebaiknya tidak menggunakan sound system yang keras, karena kidung dilakukan bersama dengan suara yang sayup-sayup mengiringi puja-mantra, dari pemimpin upacara. Jangan sampai suara kidung demikian keras, sehingga suara gentha Sulinggih tidak terdengar. Mestinya para pelantun kidung berada dekat dengan Sulinggih sehingga mengetahui apa yang sedang dilakukan Sulinggih, lalu memilih kidung apa yang tepat. Jangan sampai Sulinggihnya muput caru, lalu kidungnya wargasari.
Suara gong/ gamelan di Pura juga sering mengganggu kehidmatan upacara, karena gambelan ditempatkan di utama mandala apalagi irama gongnya tidak sesuai dengan suasana hening yang ingin diciptakan. Gambelan mestinya berada di Madya Mandala, iramanya yang lambat tetapi sakral misalnya tabuh telu, lelambatan, dll.
Di Bali jenis gambelan disesuaikan dengan tujuan upacara.
· Misalnya untuk suasana sedih ketika meninggal dunia sampai ngaben digunakan angklung, namun ketika ke setra perlu kebulatan tekad dan semangat tinggi, digunakan gong baleganjur; ketika ngaskara perlu suasana sakral magis bervibrasi perjalanan atma ke sunia loka, digunakan gambang.
· Pada upacara manusia yadnya digunakan gender, upacara di Pura: gong gede, juga untuk Nyekah yang dilaksanakan di dalam sanggah pamerajan.
Jadi gambelan, pupuh, kidung dan kakawin adalah sarana untuk membantu mewujudkan vibrasi kesucian sesuai dengan tujuan upacara. Tidak bertindak sendiri-sendiri asal ramai dan meriah. Apalagi jika ada keinginan sang penyanyi kidung dan kakawin menonjolkan kebolehannya sendiri bahwa ia sudah pandai, hebat, dll. ini sudah jauh dari perilaku seorang BHAKTA.
Pertanyaan kenapa di Jawa dan Bali saja ada gegendingan, pupuh, kidung dan kakawin? Saya pernah tahu bahwa rekan-rekan sedharma kita yang di Banten, Toraja, Kalimantan, Batak (Karo) juga mempunyai tatanan seni suara seperti itu, tetapi belum ada tokoh yang menulisnya, atau saya yang kurang tahu.
“OM SANTHI SANTHI SANTHI OM”
Artikel ini sangat berguna,, Suksma
BalasHapus