Kalau kita ingin mendalami pemakaian Abjad Bali Latin ini kita dapat berpegang kepada buku "Ejaan Bahasa Daerah Bali Yang Disempurnakan (Huruf Latin)", yang dikeluarkan oleh Dinas Pengajaran Propinsi Daerah Tingkat l Bali, yang berdasarkan keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tangga 18 Maret 1974 Nomor: 070/U/1974.
Dalam buku ini dinyatakan, bahwa:
| Ejaan Bahasa Bali dengan huruf Latin harus disesuaikan dengan ejaan bahasa Indonesia.
|
| Ejaan itu sedapat- dapatnya "fonetik", artinya sesuai dengan ucapannya. Untuk kepentingan ini maka diputuskanlah dalam Pasamuhan Agung Bahasa Bali tahun 1957 sebagai berikut:
| Vokal 6 buah, yaitu: a, e, i, u, e, o. Lambang e taling tidak memakai corek atau tanda diakritik. Tanda diakritik dapat dipakai hanya pada permulaan belajar membaca atau dalam perkamusan. |
| Konsonan 18 buah yaitu: h, n, c, r, k, d, t, s, w, l, m, g, b, ng, p, j, y, ny |
Perlu kami ingatkan bahwa dalam penulisan kalimat- kalimat atau ceritera bahasa Bali memakai tulisan Latin jangan berpegang dengan tulisan Bali, melainkan ke bahasa Indonesia, misalnya:
| Rontal Ramayana becik pisan. |
| Prabu Kresna sareng mayuda. |
| Sang Panca Pandawa lunga ka alase. |
Kalau kita perhatikan tulisan: Ramayana, Prabu Kresna, mayuda dan Panca Pandawa, tidak cocok dengan tulisan Balinya, yang cocok dengan tulisan Balinya, ialah tulisan Jawa Kuna Latin, yaitu: Rämäyaņa, Prabhu Krëşņa, mayuddha dan Pañca Päņḍawa Mengenai penulisan nama orang, badan hukum, sungai, gunung, jalan dan sebagainya., hendaknya disesuaikan dengan Ejaan Bahasa Bali Yang Disempurnakan, kecuali bila ada pertimbangan- pertimbangan khusus dari segi hukum, tradisi atau sejarah. Dalam buku Ejaan Bahasa Daerah Bali Yang Disempurnakan juga dicantumkan abjad Bahasa Indonesia dari: a s/d z. Hal ini dimaksudkan ialah untuk menyerap bahasa asing pada tahap permulaan sebelum adaptasi sebagai bahasa Bali, misalnya sebagai kata: vitamin, quintal, zaman, ijazah dan sebagainya. Kemudian kalau kata-kata itu sudah memasyarakat, maka tulisan kata-kata itu berubah sesuai dengan penulisan abjad Bali yaitu menjadi: pitamin, kuintal, jaman, ijasah dan sebagainya. Penulisan kata- kata yang demikian pada tahap permulaan biasanya diberi tanda petik (". . . ."). |
|
Menurut sejarah aksara Bali, kita mengambil aksara dari huruf Jawa, sedangkan huruf Jawa mengambil dari huruf Palawa/ Dewanegari, hanya bentuknya setara evolusi sudah berubah sehingga kita dapati bentuk aksara sebagai sekarang ini. Adapun jumlah aksara Jawa yang diserap menjadi aksara Bali hanya 18 buah, yaitu: ha, na, ca, ra, ka, da, ta, sa, wa, la, ma, ga, ba, nga, pa, ja, ya, nya. Sedangkan aksara Jawa (carakan) banyaknya 20 buah, yaitu lebih: ţa latik dan ḍa madu. Kalau kita perhatikan lambang abjad Bali ini sebenarnya sudah mengandung sandangan suara a. Aksara yang demikian disebut aksara silabik. Perlu diketahui bahwa penulisan vokal dalam bahasa Bali telah diganti dengan ha, hi, hu, he, ho, he (pepet). Huruf h itu sebenarnya bukan vokal, melainkan wisarga h yang merupakan konsonan dalam tulisan Bali atau Bali Latin. Dengan mengingat jumlah abjad ini agak terbatas, sedangkan bahasa itu terus berkembang terutama bahasa Jawa Kuna atau Sanskerta, maka mau tak mau kita terseret untuk turut mengikuti abjad Jawa Kuna itu yang berasal dari abjad Dewanegari.
|
|
|
Sebagaimana telah kami kemukakan di atas. bahwa abjad Jawa Kuna mengambil dari abjad Dewanegari, yaitu vokal 15 buah dan konsonan 33 buah. Jadi seluruhnya berjumlah 48 buah.
| Aksara swara (Vokal)
| a, ä, ë, ö, i, ï, u, ü, ŗ, ŗ̃, ļ |
| Diftong: e, ai, o, au. |
|
| Aksara wianjana (Konsonan)
| Kerongkongan (Gutturals) | ka, kha, ga, gha, nga, ba |
| Langit-langit (Palatals): | ca, cha, ja, jha, na, ya, ça |
| Lidah (Cerebrals) | ţa, ţha, ḍa, ḍha, ņa, ra, şa |
| Gigi (Dentals): | ta, tha, da, dha, na, la, sa |
| Bibir (Labials): | pa, pha, ba, bha, ma, wa |
|
Kalau kita perhatikan jenis pembagian warga aksara tersebut di atas jauh lebih sederhana dibandingkan dengan fonologi dalam bahasa Indonesia. |
|
|
| Aksara swara
No | Aksara | Jenis | Simbul | Sandangan
Swara |
1 | a | hŗşwa | | |
2 | ä | dïrgha | | |
3 | ë | hŗşwa | - | |
4 | ö | dïrgha | - | |
5 | i | hŗşwa | | |
6 | ï | dïrgha | | |
7 | u | hŗşwa | | |
8 | ü | dïrgha | | |
|
No | Aksara | Jenis | Simbul | Sandangan
Swara |
9 | ŗ | hŗşwa | | |
10 | ŗ̃ | dïrgha | | |
11 | ļ | hŗşwa | | |
12 | e | dïrgha | | |
13 | ai | dïrgha | | |
14 | o | dïrgha | | |
15 | au | dïrgha | | |
|
|
| Aksara Wiañjana
No | Dasar Ucapan | Nama
Warga | Wianjana (Konsonan) |
Pancawali Mukha | Semi
Vokal | Sibilan/
Usma | Aspirat |
tajam | lembut | nasal |
| Kaņţhya
(Gutturals)
| ka
| ka-kha
- | ga-gha
- | nga
| - | - | ha
|
| Tälawya
(Palatals)
| ca
| ca-cha
- | ja-jha
- | ña
| ya
| ça
| - |
| Mürdhanya
(Cerebrals)
| ţa
| ţa-ţha
- | ḍa-ḍha
- | ņa
| ra
| şa
| - |
| Dantya
(Dentals)
| ta
| ta-tha
- | da-dha
- | na
| la
| sa
| - |
| Oşţhya
(Labials)
| pa
| pa-pha
- | ba-bha
- | ma
| wa
| - | - |
Keterangan:
| Aspirat, yaitu h (ha) tidak mempunyai daerah artikulasi tertentu, tetapi pada tabel di atas kami tempatkan pada daerah kantia sebab dalam tulisan Bali tulisan ha disamakan dengan tulisan vokal a. |
| Masing- masing warga dinamai menurut konsonan pertama dalam urutannya, yaitu ka warga, ca warga, ţa warga, ta warga dan pa warga. |
|
|
|
|
Fonologi atau widia suara dalam bahasa Bali, ialah salah satu cabang bahasa atau linguistik yang khusus menyelidiki sistem bunyi bahasa.
Studi fonologi meliputi dua bidang, yaitu:
FONOLOGI |
| Fonetik | cabang ilmu bahasa yang khusus mempelajari semua bunyi ujaran yang disebut fona. Dari kata inilah timbul istilah fonetik. |
| Fonemik | cabang ilmu bahasa yang khusus mempelajari hanya bunyi ujaran yang berfungsi saja. Bunyi bahasa yang mempunyai fungsi itu disebut fonem. Dari kata inilah muncul istilah fonemik. |
Studi fonemik baru bisa dilakukan setelah adanya studi fonetik. Fonetik seakan mengumpulkan semua bahan mentah yang kemudian dipilih dan dimasak oleh studi fonemik.
Fonetik adalah merupakan bunyi ujaran (fona) yang terdapat dalam sesuatu bahasa yang keadaannya amat kompleks dan rumit. Oleh karena itu fonetik sebagai cabang dari ilmu bahasa struktural, bisa dipelajari dari beberapa segi, yaitu:
Yang akan kita bicarakan sekarang ini hanyalah fonetik artikulatoris. karena hal ini menyangkut mengenai daerah artikulasi (kewargaan aksara) di mana letaknya sumber-sumber bunyi itu, yang nantinya kita lambangkan dengan aksara-aksara. Secara garis besarnya, yang akan dibicarakan dalam bagian ini dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu:
FONETIK ARTIKULATORIS |
| Alat-alat bicara | Alat-alat bicara itu sebenarnya banyak. tetapi dalam bagian ini kami akan singgung alat-alat bicara yang ada hubungannya dengan artikulator dan artikulasi saja. Yang dimaksud dengan artikulator, ialah: bagian dari pada alat ucap yang dapat digerakkan atau digeserkan untuk dapat menimbulkan suatu bunyi, misalnya: bibir bawah dan lidah. Selanjutnya yang disebut artikulasi, yaitu bagian dari alat ucap yang menjadi tujuan sentuh dari pada artikulator, misalnya: gigi atas, bibir atas dan langit- langit. |
| Cara kerja alat-alat bicara. | Agar dapat menimbulkan bunyi ujaran biasanya terjadi kerjasama antara tiga faktor, yaitu: udara, artikulator dan titik artikulasi, misalnya:
| Vokal
(aksara suara) | Vokal bisa terjadi bila udara yang keluar dari paru- paru tidak mendapat halangan sedikitpun. Jenis vokal yang timbul tergantung dari beberapa hal, yaitu posisi bibir, tinggi rendahnya lidah dan maju mundurnya lidah. |
| Konsonan
(aksara wianjana) | Konsonan terjadi bila udara yang keluar dari paru-paru mendapat halangan. Halangan yang dijumpai udara itu dapat bersifat sebagian ada yang bersifat keseluruhan, yaitu dengan menggeserkan atau mengadukkan arus udara itu. Jenis konsonan yang dihasilkan itu tergantung dari beberapa faktor, yaitu:
| Berdasarkan artikulator dan titik artikulasi. |
| Berdasarkan macam halangan udara yang dijumpai waktu mengalir keluar. |
| Berdasarkan turut tidaknya pita suara bergetar, |
| Berdasarkan jalan yang dilalui udara ketika keluar dari rongga- rongga ujaran. |
|
|
Dalam hal ini lidah betul-betul memegang peranan mengenai pengaturan bunyi. Oleh karena itu kalau lidah orang itu tidak sempurna, misalnya kepanjangan atau kependekan, maka waktu berbicara akan kedengaran "leklek atau badil". Orang Bali sebenarnya dari dahulu sudah tahu mengatur bunyi terbukti dengan adanya -tukang- tukang "jetet" burung, misalnya burung beo, kakak tua dapat diolah lidahnya, sehingga akhirnya bisa berbicara sebagai manusia. Bunyi apa yang dihasilkan oleh alat-alat tersebut baik berupa vokal maupun konsonan kami akan kelompokkan sesuai dengan pembagian warga aksara Jawa Kuna/ Dewanegari, sebagai berikut, yaitu:
| Vokal dan konsonan kantia (guttural, Kerongkongan) dihasilkan dengan mendekatkan lidah kepada kanta (kerongkongan) yaitu bagian langit-langit dekat kerongkongan, terdiri atas: a, ä, ka, kha, ga, gha, nga, ha. |
| Vokal dan konsonan talawia (palatal, tekak) dihasilkan dengan mendekatkan lidah kepada talu (talu = palatum, tekak), yaitu langit-langit lembut dan menghasilkan: i, ï, ca, cha, ja, jha, ña, ya, ça. |
| Vokal dan konsonan murdania (lingual, cerebral) dihasilkan dengan mendekatkan lidah (lungua) dekat langit-langit keras (cerebrum, murdha) dan menghasilkan ŗ̃, ţa, ţha, ḍa, ḍha, ņa, ra, şa |
| Vokal dan konsonan dantia (dental) dihasilkan dengan menyentuhkan ujung lidah kepada lengkung kaki gigi atas (dens, dentis = danta, gigi) dan menghasilkan:ļ, ta, tha, da, dha, na, la, sa. |
| Vokal dan konsonan ostia (labial) dihasilkan dengan mendekatkan kedua bibir (labium, ostha) dan menghasilkan: u, û, pa, pha, ba, bha, ma, wa. |
Lain dari pada vokal-vokal tersebut di atas. kita jumpai juga vokal- vokal rangkap (diftong), yang terjadinya sebagai berikut:
| Vokal gutturo-palatal (kanthalawya) dihasilkan dengan menggerakkan lidah ke dekat kanta dan talu menghasilkan: e, ai. |
| Vokal gutturo-labial (kanthosthya) terjadi adanya kerja sama antara kanta dan osta dan menghasilkan: o, au. |
Setelah kita mengetahui cara-cara kerja dan bunyi yang dihasilkan oleh alat-alat bicara itu barulah kita tuliskan dengan lambang- lambang huruf, di antaranya dengan aksara Bali. Dari lambang- lambang bunyi inilah kemudian setelah dibentuk suatu kata menimbulkan uger- uger penulisan pasang aksara Bali terutama rangkapan- rangkapan wianjana yang tidak sewarga.
Catatan:
| Bentuk-bentuk aksara dirga (dirgha = panjang) sebagai = ä, ï, ü diucapkan lebih panjang dari pada: a, i, u hrasua (hrswa = pendek). |
| Semi vokal (arda swara) yang berfungsi sebagai setengah suara dan setengah konsonan. Dalam tulisan Bali arda suara yang berfungsi sebagai vokal dinyatakan dengan gantungan (kluster) dan kalau berfungsi sebagai konsonan ditulis berjajar. |
| Anusuara atau anunasika, adalah bunyi yang keluar melalui hidung (nasa) yaitu: ny, m, n, ng. |
|
|
|
|
Setelah kita mempelajari beberapa jenis abjad, maka yang perlu kita camkan sekarang, ialah abjad Jawa Kuna Latin yang telah kita salin dengan lambang-lambang aksara Bali. Abjad ini rupanya sudah merupakan abjad yang baku, terutama mengenai pengelompokan- pengelompokannya, karena sudah sesuai dengan daerah artikulasinya atau warga aksaranya. Oleh karena itu kalau mencari kata-kata dalam kamus Jawa Kuna, maka pada umumnya mempergunakan urutan abjad ini. Selanjutnya kita juga telah mempelajari fonologi atau ilmu tata bunyi, terutama mengenai cara kerja antara artikulator dengan artikulasi. sehingga menimbulkan bunyi-bunyi yang kita lambangkan dengan aksara Bali. Sekarang marilah kita perhatikan penulisan abjad Jawa Kuna Latin dengan aksara Bali ( Nomor D). Kita perhatikan dan camkanlah penjelasan di bawah ini yaitu:
| Perhatikanlah jalur-jalur kelompok warga aksara itu, baik vertikal maupun horisontal dan camkan nama-nama lambang bunyi itu. |
| Perlu diketahui bahwa ada lambang-lambang bunyi yang dianggap sama, yaitu:
| Bunyi s tiga buah, yaitu: s dantia, ş murdania dan ç talawia. |
| Bunyi t tiga buah, yaitu: t dantia alpaprana, th dantya mahaprana dan ţ murdania. |
| Bunyi n dua buah, yaitu n dantia, dan ņ murdania |
| Bunyi d tiga buah, yaitu: d dantia alpaprana, dh dantya mahaprana dan ḍ murdania. |
|
Kalau kita menerapkan uger-uger pasang aksara Bali terhadap rangkapan wianjana (gugusan konsonan) pada suatu kata terhadap huruf-huruf itu harus yang sewarga. Kalau rangkapan wianjana itu tidak sewarga, maka berlakulah hukum "asimilasi gugusan konsonan", yaitu penyesuaian rangkapan wianjana tersebut misalnya:
| Contoh 1
Panca (penulisan Bali Latin).
Kita lihat gugusan konsonannya, ialah: nc. Lambang n termasuk warga dantia dan c termasuk warga talawia. Jadi tidak sewarga atau tidak sedaerah artikulasi. Dalam hal ini berlakulah hukum "regresif" pada penulisan Bali maksudnya lambang bunyi yang di belakang (c) mempengaruhi yang di muka (n) Dengan demikian lalu n menyesuaikan diri dengan warga c menjadi ny (ñ). Caranya mendapatkan pergunakanlah "sistem koordinat" dalam matematika, yaitu:
| Warga dantia dianggap sumbu x, karena merupakan basis dari pada gerak artikulator paling bawah |
| Warga aksara yang lain dianggap sumbu y. karena gerak artikulator pada titik-titik artikulator berada di atas atau menuju ke atas. |
Jadi caranya dengan menarik n vertikal dan c horizontal, maka akan mengenai ñ ( ny) atau dengan kata lain n (dantia) menyesuaikan diri menjadi ny (talawia), (lihat bagan abjad nomor D) Jadi tulisan: panca - pañca - panji - pañji - Uger-uger akan berbunyi, yaitu:
Saluiring kruna lingga yening wenten n kagantungin antuk c utawi j, wenang n punika kagentosin antuk ny (ñ). |
|
| Contoh: 2
pascad (penulisan Bali Latin).
Kita lihat gugusan konsonannya, ialah sc. Lambang s adalah termasuk warga dantia dan lambang c termasuk warga talawia, jadi tidak sewarga. Dalam hal ini berlaku juga hukum regresif, yaitu s harus menyesuaikan diri menjadi ç (sa saga). Jadi tulisan:
pascad - paçcad - pascima - paçcima - Uger-uger akan berbunyi:
Saluiring kruna lingga yening wenten s kagantungin antuk c, wenang s punika kagentosin antuk ç (sa saga). |
(Caranya mendapatkan s dental menjadi ç talawia, ikuti contoh nomor 1)
|
| Contoh 3
Pradnyan (Penulisan Bali Latin)
Kita lihat gugusan konsonannya, ialah dñ. Lambang d adalah termasuk warga dantia dan ñ (ny) termasuk warga talawia. Jadi juga tidak sewarga. Dengan demikian kalau lambang d ditarik vertikal, maka kena aksara j dan berkoordinat dengan aksara ñ (ny). Jadi tulisan:
pradnyan - prajñan - adnyana - ajñana - Uger-uger akan berbunyi
Saluiring kruna lingga yening wenten d kagantungin antuk ny, wenang d punika kagentosin antuk j. |
|
| Contoh: 4
karna (Penulisan Bali Latin)
Kita lihat gugusan konsonannya ialah rn. Lambang r adalah termasuk warga murdania, sedangkan n adalah termasuk warga dantia. Dalam hal ini hukumnya kelihatan terbalik bukan lagi regresif tetapi progresif, artinya yang di muka mempengaruhinya dan caranya mendapat pasangannya sama saja dengan teori nomer 1, yaitu dengan jalan menarik n (dantia) vertikal hingga kena ņ rambat pada daerah murdania.. Jadi tulisan:
karna - karņa (ņ murdania) - rana - raņa (ņ murdania) - Uger-uger akan berbunyi:
Saluiring kruna lingga-yening aksarane ring arep aksara r utawi masurang (r) ring ungkur n, wenang n punika kagentosin antuk ņ rambat (ņ murdania). |
Catatan:
Kata Ramayana kalau ditulis dengan tulisan Jawa Kuno Latin akan menjadi Rämäyaņa yang sebenarnya adalah berasal dari dua kata, yaitu: Rämä + ayana (n tidak memakai titik). yang berarti: kisah atau perjalanan Sang Rama. Kemudian setelah kata itu digabungkan maka n dantia menjadi ņ murdania. karena kata Ramayana sudah dianggap satu kata/ nama, misalnya rontal Ramayana / Rämäyaņa
|
| Contoh 5
warsa (penulisan Bali Latin)
Kita lihat gugusan konsonannya ialah rs. Lambang ŗ adalah termasuk warga murdania dan lambang bunyi s adalah dantia. Dalam hal ini penyelesaiannya sama dengan contoh 4, yaitu s dantia menjadi ş murdania (sa sapa) dengan jalan menarik vertikal atau ke atas, sehingga terdapat koordinat rş. Jadi tulisan:
warsa - warşa - rasa - räşa - Uger-uger akan berbunyi:
Saluiring kruna lingga yening aksarane ring arep aksara ra utawi masurang (r) ring ungkur s, wenang s punika kagentosin antuk ş sapa (s murdania). |
|
Catatan:
| Gejala asimilasi ini sering juga terjadi bukan saja dalam satu kata, tetapi juga dalam dua kata, misalnya:
Asli | Asimilasi | Gabungan | Ditulis |
tar + bhära | tan + bhära | tambhära | |
dur + çäsana | dus + çäsana | duççasana | |
dur + krëta | dus + krëta | duşkrëta | |
dur + kita | duh + kita | duhkita | |
dur + kha | duh + kha | duhka | |
tar + molah | tä + molah | tämolah | |
nir + cala | nis + cala | niçcala | |
Agar dapat melihat bentuk-bentuk ini kita harus hapal masing- masing jenis warga aksara itu. Hukum-hukum regresif berlaku pada kata-kata ini. Jadi lambang/ bunyi yang di belakang mempengaruhi yang di muka agar sesuai dengan warganya, sebab artikulator mengetuk rangkapan wianjana itu hanya pada suatu titik artikulasi dan tidak dapat mengetuk dua lebih. Mengapa ? Sebab lidah kita tidak bercabang.
Berkenaan dengan itu maka penulisan kata karna pada tulisan Bali tidak memakai duita, karena menyalahi fonologi di samping tidak praktis kalau ditulis dengan huruf Bali Latin. Jadi tulisan karna menurut hasil Pasamuhan Agung Kecil tahun 1963 tidak memakai duita lagi. Cukup tulis: Perlu diketahui, bahwa dalam pasamuhan itu duita karena surang dihapuskan, tetapi duita dari akar kata menjadi kata tetap berlaku.
|
| Bunyi ks adalah satu fonem, sama halnya dengan lambang x yang kini diganti dengan lambang ks, misalnya dalam kata: taxi = taksi = Sejalan dengan itu maka tulisan Bali Latin:
jaksa | |
paksa | |
caksu | |
aksara | |
aksara | |
Uger-uger berbunyi:
Saluiring kruna lingga yening wenten k kagempelin antuk s, wenang s punika kagentosin antuk s sapa (ş). |
Lain halnya dengan tulisan Bali:
panak sampi | |
anak sugih | |
Uger-uger menurut hasil Pasamuhan Agung Kecil tahun 1963 berlaku hanya dalam satu lingga saja.
|
| Lepas dari asal-usul bahasa, maka penulisan Bali dari bunyi rangkap yang sewarga tidak mengalami perubahan, misalnya:
Warga dantia
Warga murdania:
Warga talawia:
Tentang rangkapan wianjana warga kantia dan ostia tidak begitu tetap, karena letaknya sudah agak jauh dari pada ujung lidah selaku artikulator. Tetapi pada warga ostia masih kita dapat lihat rangkapan- rangkapannya, misalnya:
tulisan | dalam kata |
| |
| |
|
|
|
|
|
Yang dimaksud dengan bentuk dirga (dirga, panjang) pada suatu penulisan, ialah semua suku kata yang mendapat sandangan suara: ä, ï, ü, ö, e, ai, o dan au. Dalam penulisan ini terpaksa kita mempergunakan penulisan Jawa Kuna Latin supaya lebih lengkap lambang-lambangnya. sesuai dengan tulisan Bali yang terdapat pada rontal-rontal. Sebagaimana kita ketahui, bahwa bahasa rontal terutama kidung, kekawin dan parwa-parwa sebagian besar memakai bahasa Jawa Kuna atau Sanskerta, yang banyak mempergunakan bentuk- bentuk dirga. Terjadinya bentuk-bentuk dirga itu antara lain adalah sebagai berikut, yaitu:
| Bentuk Sandi (= nyutra)
|
ma + atur | mätur | |
sa + antukan | säntukan | |
di + ibi | dïbi | |
kapi + indra | kapïndra | |
prabhu + uttama | prabhüttama | |
parama + artha | paramärtha | |
rëngö + ën | rëngön | |
saji + an | sajen | |
taji + an | tajen | |
daitya | detya | |
raina | reņa | |
tuju + an | tujon | |
sa + umah | somah | |
Kaurawa | Korawa | |
|
| Huruf r yang hilang
|
ular | ulä | |
turut | tüt | |
rarat | rät | |
rarah | räh | |
|
| Menunjukkan jenis wanita:
|
swamï (=istri) | |
priyä (=kekasih wanita) | |
Sumiträ (istri Dasaratha) | |
Ganggä (dewi Gangga) | |
|
| Menyatakan mempunyai atau berisi.
|
çaça (terwilu) | çaçin (berisi terwilu) | çaçï | |
tantra (=kekuatan) | tantrin (=mempunyai kekuatan) | tantrï | |
çrëngga (=tanduk) | çrënggin (=bertanduk) | çrënggï | |
keçara (=kumpulan rambut) | keçarin (=mempunyai kumpulan rambut) | keçarï | |
Catatan: Tulisan sasi pada wirama Toţaka dalam Arjuna Wiwaha tidak dirga, karena kepentingan guru lagu.
|
|
|
|
Musyawarah mufakat adalah merupakan sarana yang ampuh untuk menyatukan diri dan merupakan hukum bagi pemakainya. Menyimpang dari pada hasil musyawarah mufakat, maka dipandang salah. Demikian pula dalam penulisan pasang aksara Bali sering terjadinya perubahan-perubahan itu. Contoh:
| Pada waktu pemerintahan Belanda muncul sebuah buku bernama Balineesche Scrijftaal yang dikarang oleh Mas Niti Sastro (Hoofd Der School Te Singaradja) pada tahun 1918. Waktu itu ditetapkan pemakaian pasang tumpuk, misalnya:
BUNYI | DITULIS |
teka | |
meka | |
sema | |
Pada tahun 1931 terbit buku bernama Uger-Uger Aksara Saha Pasang Sasuratan Basa Bali Kapara oleh HJEF Schwartz yang isinya di samping mengurangi pemakaian lambang- lambang bunyi aksara Bali sebagai: ba kembang, ga gora dan lain sebagainya, maka diadakan perubahan dari pasang tumpuk menjadi pasang jajar, misalnya: tulisan:
Setelah buku ini berjalan beberapa lama, maka timbul masalah di kalangan para sastrawan penggemar pembaca rontal. karena pemakaian aksara Bali yang diterapkan ini dipandang tidak menunjang untuk membaca rontal, sebab hurufnya tidak lengkap.
|
| Pada tahun 1957 diadakan Pasamuhan Agung Bahasa Bali dan disusul lagi tahun 1963 Pasamuhan Agung Kecil, yang isinya antara lain menetapkan pemakaian pasang jajar, karena sesuai dengan tulisan Latin dan gampang mengisi guru lagu pada kekawin- kekawin, misalnya:
KATA | DITULIS | DENGAN
GURU LAGU |
teka | |
|
tekek | |
|
Sebagai pegangan dalam penulisan pasang aksara Bali dipakailah rontal: Ramayana, oleh Dr. Kern dan Bhâratayuddha, oleh Dr. Gunning. |
|
|
|
Yang dimaksud dengan pengangge tengenan, ialah meliputi: cecek, bisah, surang dan adeg-adeg.
| Pemakaian cecek
Cecek dengan lambangadalah sebagai pengganti wianjana:
Pemakaiannya adalah sebagai berikut:
| Dipakai pada suku kata terakhir saja. | |
| Dipakai pada kata- kata yang kedua sukunya sama bunyi, meskipun sudah terasimilasi (kapotahang). | |
| Suku kedua atau ketiga dari akhir dipakai wianjana misalnya dalam: | |
| Gantungan ardasuara: y, r, l, w tidak mengubah pasang kecuali l tidak boleh tumpuk tiga, misalnya kata-kata di kotak sebelah:
Fungsi arda suara di sini sebagai aksara suara.
| |
|
|
| Pemakaian bisah
Bisah dengan lambang:adalah sebagai pengganti wianjana:
Pemakaiannya adalah sebagai berikut:
| Dipakai pada suku kata terakhir saja. | |
| Dipakai pada kata- kata yang kedua sukunya sama bunyi, meskipun sudah terasimilasi (kapotahang) | |
| Suku kedua atau ketiga dari akhir dipakai wianjana misalnya dalam: | |
| Gantungan ardasuara: y, r, l, w tidak mengubah pasang kecuali l tidak boleh tumpuk tiga, misalnya kata-kata: | |
| Catatan: Contoh tumpuk tiga untuk lambang l sukar dicari, namun secara teori mestinya ada seperti misalnya: dur + kleça = duhkleça (= penyakit buruk) | |
|
|
| Pemakaian surang
Surang dengan lambang:adalah sebagai pengganti wianjana: yang masih kita dapati dalam rontal- rontal secara utuh. Pemakaian tekenan r di semuanya diganti dengan surang saja, misalnya: Catatan: Dalam rontal Ramayana (Kern) tulisan: ditulis |
|
| Pemakaian adeg-adeg
Adeg-adeg dilambangkan: berfungsi untuk membunuh aksara. Oleh karena itu aksara menjadi nengen, atau mati (konsonan). Pembunuhan dengan adeg- adeg menurut hasil Pasamuhan Agung Kecil tahun 1963 hanyalah dipakai pada suku kata terakhir dari suatu kalimat,atau untuk menghindari tumpuk tiga: |
|
|
|
|
Di dalam buku: Ejaan Bahasa Daerah Bali yang Disempurnakan kita menaruh dua jenis abjad, yaitu abjad bahasa Indonesia dari A s/d Z dan abjad Bali yang 18 buah itu.
Adapun maksud abjad yang dibuat lengkap dari A s/d Z ialah untuk menyerap bahasa asing sebelum bahasa itu memasyarakat, dan ditulis di antara tanda petik, misalnya:
|
a. | Cening, kema malu meli "vitamin" ka apotik! |
b. | Cening, kema malu meli pitamin ka apotik! |
c. | |
|
|
a. | Cening, suba maan "ijazah" jani? |
b. | Cening, suba maan ijasah jani? |
c. | |
|
Catatan:
| Jadi caranya mula-mula tulisannya utuh disalin, kemudian disesuaikan dengan tulisan Bali Latin dan selanjutnya baru salin dengan tulisan Bali.
|
| Penyesuaian hurufnya sebagai berikut:
f(a) | p(a) | |
v(a) | p(a) | |
q(a) | k(a) | |
x(a) | ks(a) | |
z(a) | j(a)
s(a) | |
|
|
|
|
Salah satu syarat dari pada Kekawin ialah guru lagu. Untuk dapat menunjang syarat guru lagu itu penulisannya harus benar terutama mengenai bentuk hrasua (= pendek) dan dirga (= panjang). Walaupun begitu ternyata dalam kekawin- kekawin masih terdapat penyimpangan-penyimpangan tulisan Bali. Dalam hal ini guru lagu yang memegang peranan, pasang aksaranya diubah:
| Kalimat ini diambil dari Bhàratayuddha, bait pertama baris ketiga dengan wirama Wirät mata kriḍa dengan guru lagu sebagai tersebut di atas. |
| Perhatikan tulisan: mäti dan nagara. Pasangannya semuanya salah, tetapi karena kepentingan guru lagu lalu dipaksakan. Yang benar pasangannya, ialah mati (tanpa tanda dirga) dan nägara (berisi tanda dirga). |
|
|
|
Pasang pageh artinya pasang yang sudah sedemikian adanya dan tidak dapat diterangkan lagi. Istilah ini juga sering kita pergunakan kepada murid-murid yang lebih rendah tingkat pemahamannya, walaupun kita tahu asal-usulnya. Kita bertindak demikian, maksudnya ialah agar kita tidak seakan-akan memberikan kuliah di SD. Cukup katakan, harap hapalkan tulisannya ! Oleh karena kita membicarakan soal tulisan Bali, cukup kiranya kita ambil contoh- contoh yang tulisannya sukar-sukar dan selanjutnya yang lain cari pada kamus Jawa Kuna atau Sanskerta. Untuk dapat mengatasi hal itu kita harus hapal penulisan abjad Jawa Kuna Latin. Contoh:
No. | Tulisan Bali | Tulisan Jawa
Kuna Latin | Artinya |
1 | | angça | keturunan, bagian |
2 | | artha | tujuan, kekayaan, uang |
3 | | Anggara | Selasa |
4 | | iki | ini |
5 | | iḍep | pikiran |
6 | | ukir | gunung |
7 | | uşadha | obat |
8 | | eñjing | pagi |
9 | | eka | satu |
10 | | om` | seruan kepada Tuhan |
11 | | oşţha | bibir |
12 | | rëkşa | jaga |
13 | | krëşņa | hitam |
14 | | lïņa | hilang, lenyap |
15 | | ḍateng | datang |
16 | | dhïra | berani |
17 | | thani | petani |
18 | | nätha | raja. pelindung |
19 | | ţikşņa | tajam |
20 | | bhaţära | dewa |
21 | | şad | enam |
22 | | şadpäda | kumbang |
23 | | çatru | musuh |
24 | | çawa | mayat |
25 | | çünya | sunyi |
26 | | ghora | besar, hebat |
27 | | ghanta | genta |
28 | | bhakşa | makanan |
29 | | bhäga | bahagia |
30 | | bhäwa | sikap |
31 | | phalwa | prahu |
32 | | sphaţika | kristal |
33 | | päduka | sepatu |
34 | | sägara | laut |
35 | | wïja | biji, busana |
36 | | gïta | nyanyian |
37 | | strï | istri |
38 | | çighra | lekas |
39 | | prathiwï | tanah |
40 | | nïla | nila, biru |
41 | | wïra | perwira |
42 | | dïpa | lampu |
43 | | küţa | benteng |
44 | | bhüta | raksasa, setan |
45 | | çïla | tingkah laku |
46 | | çüra | berani |
47 | | çoka | duka |
48 | | bhramara | lebah |
49 | | bhramita | berkelana, gelisah |
|
|
|
Sebagaimana kita ketahui, bahwa pemakaian lambang-lambang bunyi Bali itu diterapkan melalui tiga jalur, yaitu:
| Wreastra | dipakai untuk menuliskan bahasa Bali umum, misalnya: surat, urak, pipil, pangeling-eling dan lain-lainnya. |
| Sualalita | dipakai menuliskan bahasa Kawi, bahasa Kawi Tengahan, dan bahasa Sanskerta, misalnya Kidung, Kekawin, parwa, sloka. |
| Modre | dipakai menuliskan kadyatmikan, misalnya japa mantra-mantra dan juga yang berhubungan dengan upacara keagamaan, dunia kegaiban dan pengobatan. |
Dalam pelajaran aksara Modre ini kami hanya memperkenalkan sebagian kecil saja dari lambang-lambang tersebut. Kalau kita ingin mempelajari lambang-lambang ini lebih banyak dan juga cara membacanya carilah pada buku / rontal petunjuk yang disebut: KRAKAH / GRIGUH. Lambang-lambang tersebut antara lain:
| Lambang Tapak Dara ( + ) Dipakai misalnya kepada seorang ibu sedang menyusui, dikejutkan oleh sesuatu, biasanya digoresi lukisan tapak dara dari arang / kapur sirih pada susu dan anaknya (pada sela dahi maksudnya), ialah untuk menolak bahaya atau yang bersifat negatif. Tanda ini kita dapati juga pada kekeb (penutup masak nasi) yang fungsinya juga untuk menolak hal-hal yang sifatnya negatif. Tapak dara itu adalah melambangkan jalannya matahari. Jaman dahulu matahari itu dianggap Dewa yang tertinggi, yang di Bali disebut Sang Hyang Siwa Raditya.
Lengkapnya: | |
Perkembangan selanjutnya Tapak Dara menjadi Swastika yang merupakan dasar kekuatan dan kesejahteraan Bhuana Agung (Makrokosmos) dan Bhuana Alit (Mikrokosmos).
Lengkapnya: | |
(Dari lambang Tapak Dara menjadi Swastika)
Ucapan OM SWASTYASTU, juga ada hubungannya dengan SWASTIKA, sebab sebenarnya kita sudah memohon perlindungan kepada Ida Sanghyang Widhi yang menguasai alam Raya Semesta ini. Om: kata panggilan kepada Ida Hyang Widhi
Su: baik, asti = adalah dan astu = semoga. Jadi arti keseluruhannya: Semoga ada dalam keadaan baik atas karunia Ida Hyang Widhi. Dari bentuk SWASTIKA itu timbullah PADMA (teratai) yang berdaun bunga delapan (astadala) yang kita pakai dasar keharmonisan alam, kesucian dan kedamaian abadi.
|
| Lambang OM = Tuhan
Simbul:
1 | BAYU | angin, bintang, bintang (angin padat jadi bintang) |
2 | TEJA | api, surya (Matahari) |
3 | APAH | yeh (air yang padat jadi Bulan) |
4 | AKASA | langit (memenuhi yang ada) |
5 | PERTIWI | bumi, tanah |
| Omkara Geni | |
| Omkara Sabha | |
| Omkara Merta | |
| Omkara Adu Muka | |
| Omkara Pasah | |
|
|
|
|
| Pemakaian Ulu Candra
|
| |
| |
| Pemakaian Ulu Ricem
|
|
|
|
|
sangat baik untuk menunjang pengetahuan dalam bahasa bali yang penggunaannya sekarang ini sudah menurun,,
BalasHapussangat baik bli, kunjungi juga blog titiang ikomangsucipta02.blogspot.com
BalasHapusmhn bantuannya..kalo nulis huruf bali Sari Pertiwi sapunapi nggih... pd kata "sari" pke ulu sari napi ten. mhn bimbingannya . sksma.
BalasHapusMasukan yang berharga, ijin kopi untuk keperluan sendiri. Sukseme
BalasHapusKenapa penulisan aksara wianjana dari dulu ditulis dari huruf a ke nya ?
BalasHapusKenapa penulisan aksara wianjana dari dulu ditulis dari huruf a ke nya ?
BalasHapus