Selasa, 12 Juni 2012

SEJARAH PURA GUNUNG RAUNG DI DESA TARO


 
        Keberadaan Pura Gunung Raung di Desa Taro berhubungan dengan perjalanan Dang Hyang Markandya, seorang resi dari Pasraman Gunung Raung Jawa Timur ke Bali. Sebagai seorang ”dang hyang” yang sudah berstatus orang suci tentunya beliau terpanggil untuk melakukan penyebaran pendidikan kerohanian yang dalam Sarasamuscaya 40 disebut ”panadahan upadesa”. Penyebaran pendidikan rohani tersebut dilakukan untuk membangun umat agar memiliki kemampuan hidup mandiri. Karena kendali kehidupan di dunia ini diawali dengan membangun kesadaran rohani untuk menata kehidupan duniawi.
Dang Hyang Markandya di samping beliau seorang yang Sista atau orang utama karena ahli kitab suci Weda, juga beliau adalah orang suci yang sudah mendapat kepercayaan umat. Dang Hyang Markandya pun menjadi sosok orang suci yang senantiasa dijadikan tumpuan untuk memohon penyucian diri oleh umat. Dalam perjalanan sucinya beliau sebagai cikal bakalnya mendirikan PURA BASUKIAN sebagai pura yang paling awal didirikan di Pura Besakih. Setelah itu barulah Dang Hyang Markandya berasrama di Taro yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Pura Gunung Raung di Desa Taro tersebut.
Pura Gunung Raung ini terletak di antara Banjar Taro Kaja dan Banjar Taro Kelod. Pura ini menjadi perbatasan dari kedua banjar tersebut. Desa Taro ini terletak di Kecamatan Tegalalang Kabupaten Gianyar, pada umumnya letak pura di Desa Kuna di Bali adalah di hulu dan di hilir desa. Pura Gunung Raung ini terletak di hilir atau teben dari Banjar Taro Kaja dan di hulu atau luwan Banjar Taro Kaja. Pendirian pura inilah yang ada kaitannya dengan riwayat perjalanan Resi atau Dang Hyang Markandya dari Jawa Timur ke Bali.
Dalam lontar Bali Tatwa diceritakan perjalanan Resi Markandya dari Jawa Timur ke Bali. Pada mulanya Resi Markandya berasrama di Damalung Jawa Timur. Beliau mengadakan perjalanan suci (tirthayatra) ke arah timur dan sampailah beliau di Gunung Hyang. Di tempat ini beliau tidak mendapatkan tempat yang ideal. Selanjutnya, Resi Markandya melakukan perjalanannya ke arah timur lagi. Dalam perjalanan menuju ke timur itu beliau menemukan tempat di Gunung Raung Jawa Timur.
Di tempat inilah beliau membangun asrama untuk beberapa lama. Di Asrama Gunung Raung, Resi Markandya melakukan samadi. Dalam samadinya beliau mendapatkan petunjuk agar beliau mengadakan perjalanan ke Pulau Bali. Petunjuk gaib itu beliau laksanakan. Pada suatu hari yang baik beliau mengadakan perjalanan ke Bali diikuti oleh 8.000 pengikut.
Sampai di suatu tempat dengan hutannya yang lebat beliau berkemah dan membangun areal pertanian. Namun entah apa sebabnya sebagian besar pengikut beliau kena wabah penyakit dan meninggal. Tinggal hanya 4.000 pengikut saja. Resi Markandya kembali ke Jawa Timur mohon petunjuk pada Sang Hyang Pasupati.
Setelah melalui samadi Resi Markandya mendapatkan petunjuk bahwa kesalahannya adalah tidak mengaturkan sesaji untuk mohon izin merabas hutan. Setelah itu Resi Markandya kembali menuju Bali dan terus menuju Gunung Agung atau disebut juga Ukir Raja. Beliau diikuti lagi oleh pengiring yang disebut Wong Age.
Sampai di Gunung Agung beliau mengadakan upacara dengan menanam Panca Datu di Besakih yaitu di pura basukian sekarang. Setelah itu barulah beliau membangun lahan pertanian dengan hati-hati untuk mengembangkan kehidupan agraris. Pengembangan areal pertanian terus dilakukan oleh rombongan Resi Markandya sampai ke Gunung Lebah. Sampai ke Desa Puakan, di desa inilah beliau mengadakan penataan kehidupan petani seperti pembagian tanah, dll. Desa itulah terus bernama Desa Puakan.
Ada juga beliau mengadakan pembukaan areal pertanian sampai di Desa Sarwa Ada. Setelah semua pengikutnya mendapatkan areal pertanian untuk mengembangan kehidupan agraris lalu beliau membangun suatu pasraman yang mirip dengan pasramannya di Gunung Raung Jawa Timur. Setelah itu kembali Resi Markandya mendapatkan beberapa kesulitan. Untuk itu Resi Markandya kembali ke Jatim dan mengadakan samadi.
Dalam samadi itulah beliau mendapat petunjuk agar melakukan samadi di pasraman beliau di Bali. Setelah kembali ke Bali lalu beliau mengadakan samadi ternyata Resi Markandya melihat ada sinar di suatu tempat. Nyala itu ternyata berasal dari sebatang pohon yang menyala. Di pohon yang menyala itulah Resi Markandya mendirikan Pura Gunung Raung sekarang.
Karena berasal dari pohon yang menyala akhirnya tempat itu dinamakan Desa Taro yang berasal dari kata ”taru” artinya pohon. Pura dan pasramannya dibuat mirip dengan yang ada di Gunung Raung. Karena itulah pasraman dengan puranya diberi nama Pura Gunung Raung di Desa Taro sekarang.
Di Desa Taro ada sapi putih konon keturunan Lembu Nandini. Sampai tahun 1974 keturunan sapi putih itu masih ada beberapa ekor saja. Sapi putih itu sangat dikeramatkan oleh penduduk di Desa Taro. Dang Hyang Markandya adalah seorang resi yang menganut paham Waisnawa. Tetapi dengan adanya sapi putih itu dapat ditarik kesimpulan bahwan Resi Markandya juga amat menghormati keberadaan paham Siwaistis yang memang merupakan suatu sekte dalam agama Hindu.
Sekte itu adalah sampradaya atau perkumpulan perguruan nonformal untuk mendalami ajaran agama Hindu yang merupakan agama yang terbuka untuk siapa saja. Masing-masing sampradya memang memiliki ciri khasnya sendiri seperti Ista Dewata yang dipilih dan sistem Adikari atau metode pendalaman kerohanian. Tetapi dasarnya semuanya sama yaitu kitab suci Weda.
Menurut Swami Siwanandaa, agama Hindu menyiapkan hidangan spiritual kepada setiap orang sesuai dengan perkembangan hidupnya. Karena itu tidak ada pertentangan dalam keanekaragaman sistem sampradaya dalam beragama Hindu tersebut.
Pura Gunung Raung sebagai Pasraman
Pura Gunung Raung ini agak lain daripada Pura Kahyangan Jagat pada umumnya. Pura ini menghadap ke timur, sehingga kalau kita sembahyang kita akan menghadap ke arah barat seperti halnya di Pura Luhur Ulu Watu. Keunikan yang lain adalah Pura Gunung Raung memiliki empat pintu masuk dari empat penjuru. Pintu masuk dari arah timur, utara dan selatan dibuat dari Candi Bentar dengan ukirannya. Sedangkan pintu dari arah barat hanya dengan pintu kecil saja. Apa makna ada empat pintu masuk ini belum ada sumber yang secara pasti menjelaskan.
Karena Pura Gunung Raung ini sebagai pasraman tempat mendalami ilmu kerohanian (Para Vidya) dan ilmu keduniaan (Apara Vidya) maka ada kemungkinan empat pintu kesemua arah sebagai pengejawantahan pentanyaan Mantra Rgveda I.89.1 yang menyatakan: A no bhadarah kratavo yantu visavanta. Artinya: Semoga pemikiran yang mulia datang dari semua arah.
Sepertinya demikianlah makna adanya empat pintu (P) Pura Gunung Raung sebagai Pasraman Dang Hyang Markandya. Keunikan yang lain adalah areal pura ini juga sangat berbeda dengan pura lainnya di Bali. Umumnya letak jaba sisi menuju jaba tengah terus menuju jeroan pura terletak satu arah. Namun, Pura Gunung Raung sedikit berbeda. Masuk dari jaba sisi dari arah utara menuju ke selatan.
Sebelah barat jaba sisi ini terdapat dapur dan hutan kecil. Jaba tengahnya terletak di selatan jaba sisi. Namun jeroan puranya tidak terletak di selatan jaba tengah namun terletak di barat jaba tengah. Di areal jaba sisi terdapat bangunan Titi Gonggang (29), balai kulkul (28) dan gedong tempat busana. Di jaba tengah terdapat 10 bangunan antara lain balai pertemuan, Pelinggih Dalem Purwa Bumi (27), Pelinggih Ratu Pasek (26), Pelinggih Ratu Ngerurah (25), Balai Gong (30-32), Titi Gonggang (29), Balai Kulkul dari pohon Salagui (24), Balai Pegat (23), Palinggih Batara Sri (22) dan Pelinggih Bale Agung (23?). Sementara di jeroan pura tidak kurang dari 20 macam bangunan suci. Antara lain yang paling penting adalah Pelinggih Batara Gunung Raung (1).
Keberadaan Pura Kahyangan Jagat di Bali umumnya terus tumbuh dari generasi ke generasi. Berdasarkan prasasti yang dijumpai di Pura Gunung Raung diduga zaman pemerintahan Raja Anak Wungsu. Kemungkinan Pura Gunung Raung di Taro ini sudah ada sebelum abad ke-11 Masehi. Karena pura ini terus dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman maka ada dijumpai Pelinggih Penyawangan Bathara Majapahit (2). Padahal zaman Majapahit itu ratusan tahun setelah pemerintahan Raja Anak Wungsu.
Selanjutnya ada Pelinggih Mundar Mandir (10), pelinggih ini juga disebut Pelinggih Omkara. Fungsi pelinggih ini untuk mengingatkan umat agar setiap memanjatkan doa agar senantiasa mengucapkan Omkara saat awal berdoa dan saat menutup doa. Hal itu memang diajarkan dalam Manawa Dharmasastra II.74. Omkara awal untuk mengarahkan agar doa tersebut mengarah pada sasaran yang benar dan suci, sedangkan Omkara sebagai akhir pengucapan doa agar makna memuja itu tidak lepas begitu saja.
Selanjutnya Pelinggih Ratu Penyarikan (9) adalah pelinggih untuk memuja Tuhan agar kita mendapatkan tuntunan Hyang Widhi agar bisa menjalani hidup sesuai dengan tahapan hidup sebagaimana diajarkan dalam ajaran Catur Asrama. Kata ”nyarik” dalam bahasa Bali artinya tahapan.
Pelinggih Ratu Rambut Sedhana (8). Makna pemujaan Tuhan sebagai Rambut Sedhana sebagai wujud motivasi agar umat manusia mengolah isi bumi ini agar dapat menumbuhkan sarana hidup yang tak terhingga. Kata rambut bermakna sesuatu tak terhitung banyaknya. Sedhana artinya sarana hidup yang tak terhitung jumlahnya. Mengolah alam agar senantiasa menghasilkan sarana hidup yang tak terhingga tentunya tidak mudah. Namun demikian, itulah yang wajib diupayakan oleh umat manusia dalam mengolah kesuburan alam ini.
Ada penyawangan sebagai Pelinggih Masceti (3). Pura ini untuk memuja Tuhan dalam memohon agar tidak terjadi wabah penyakit seperti hama bagi tanaman dan hama, sebab hewan karena sumber alam itu yang dijadikan tumpuan hidup masyarakat.
Selanjutnya ada Balai Pengeraos (?) sebagai simbol apa pun yang akan dilakukan hendaknya didahului dengan musyawarah. Selanjutnya ada Kamulan Agung (11) sebagai pemujaan leluhur atau Dewa Pitara dari Dang Hyang Markandiya sebagai seorang pandita utama tentunya harus memberi contoh dalam memuja Tuhan dan Dewa Pitara dari leluhur beliau.
Di Pura Gunung Raung ini terdapat juga Pelinggih Penyawangan seperti ke Pura Luhur Ulu Watu (Pelinggih No. 13? Maksudnya mungkin Penyawangan Gunung Batukaru? Uluwatu kan baru ada pada Era Danghyang Nirarta?), Gunung Batur (14), Gunung Sari (15), Gunung Agung (16), Penyawangan ke Campuan Ubud (19), Padmasana (4) dan ada juga Balai Pingit (7) umumnya sebagai menempatkan Tirtha Pingit.
Pelinggih Penyawangan tersebut nampaknya didirikan setelah pengaruh Majapahit masuk ke Bali. Upacara piodalan di Pura Gunung Raung ini lakukan setiap 210 hari yaitu setiap Buda Kliwon Ugu. Setiap hari purnama diadakan upacara Mesangkepan para pengurus desa. Pemangku dan anggota desa hadir dalam upacara Mesangkepan itu.
Yang agak unik di pura ini upacara piodalan dan upacara lainnya cukup dipimpin oleh pemangku pura. Pemangku dalam memimpin upacara kecil, menengah maupun upacara besar tidak memakai genta.
Pura Kahyangan Jagat yang sudah berada sebelum pengaruh Majapahit ke Bali umumnya dalam memimpin upacara tidak menggunakan pandita dwijati dari keturunan Dang Hyang Dwijendra yang bergelar Ida Pedanda. Hal ini pun dapat dibahas kembali dalam melakukan penyempurnaan sistem kepanditaan Hindu yang benar-benar bersumber dari sastra agama Hindu yang ada. Karena agama itu sebagaimana dinyatakan dalam Sarasamuscaya 181: Agama ngaran kawarah Sang Hyang Aji. Artinya agama adalah apa yang dinyatakan dalam kitab suci.


                                                                                                                                                                   Olih : Babad Bali
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar