Keberadaan
Pura Gunung Raung di Desa Taro berhubungan dengan perjalanan Dang Hyang
Markandya, seorang resi dari Pasraman Gunung Raung Jawa Timur ke Bali. Sebagai
seorang ”dang hyang” yang sudah berstatus orang suci tentunya beliau terpanggil
untuk melakukan penyebaran pendidikan kerohanian yang dalam Sarasamuscaya 40
disebut ”panadahan upadesa”. Penyebaran pendidikan rohani tersebut dilakukan
untuk membangun umat agar memiliki kemampuan hidup mandiri. Karena kendali kehidupan
di dunia ini diawali dengan membangun kesadaran rohani untuk menata kehidupan
duniawi.
Dang
Hyang Markandya di samping beliau seorang yang Sista atau orang utama karena
ahli kitab suci Weda, juga beliau adalah orang suci yang sudah mendapat
kepercayaan umat. Dang Hyang Markandya pun menjadi sosok orang suci yang
senantiasa dijadikan tumpuan untuk memohon penyucian diri oleh umat. Dalam
perjalanan sucinya beliau sebagai cikal bakalnya mendirikan PURA BASUKIAN sebagai
pura yang paling awal didirikan di Pura Besakih. Setelah itu barulah Dang Hyang
Markandya berasrama di Taro yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Pura
Gunung Raung di Desa Taro tersebut.
Pura
Gunung Raung ini terletak di antara Banjar Taro Kaja dan Banjar Taro Kelod.
Pura ini menjadi perbatasan dari kedua banjar tersebut. Desa Taro ini terletak
di Kecamatan Tegalalang Kabupaten Gianyar, pada umumnya letak pura di Desa Kuna
di Bali adalah di hulu dan di hilir desa. Pura Gunung Raung ini terletak di
hilir atau teben dari Banjar Taro Kaja dan di hulu atau luwan Banjar Taro Kaja.
Pendirian pura inilah yang ada kaitannya dengan riwayat perjalanan Resi atau
Dang Hyang Markandya dari Jawa Timur ke Bali.
Dalam
lontar Bali Tatwa diceritakan perjalanan Resi Markandya dari Jawa Timur ke
Bali. Pada mulanya Resi Markandya berasrama di Damalung Jawa Timur. Beliau
mengadakan perjalanan suci (tirthayatra) ke arah timur dan sampailah beliau di
Gunung Hyang. Di tempat ini beliau tidak mendapatkan tempat yang ideal.
Selanjutnya, Resi Markandya melakukan perjalanannya ke arah timur lagi. Dalam
perjalanan menuju ke timur itu beliau menemukan tempat di Gunung Raung Jawa
Timur.
Di
tempat inilah beliau membangun asrama untuk beberapa lama. Di Asrama Gunung
Raung, Resi Markandya melakukan samadi. Dalam samadinya beliau mendapatkan
petunjuk agar beliau mengadakan perjalanan ke Pulau Bali. Petunjuk gaib itu
beliau laksanakan. Pada suatu hari yang baik beliau mengadakan perjalanan ke
Bali diikuti oleh 8.000 pengikut.
Sampai
di suatu tempat dengan hutannya yang lebat beliau berkemah dan membangun areal
pertanian. Namun entah apa sebabnya sebagian besar pengikut beliau kena wabah
penyakit dan meninggal. Tinggal hanya 4.000 pengikut saja. Resi Markandya
kembali ke Jawa Timur mohon petunjuk pada Sang Hyang Pasupati.
Setelah
melalui samadi Resi Markandya mendapatkan petunjuk bahwa kesalahannya adalah
tidak mengaturkan sesaji untuk mohon izin merabas hutan. Setelah itu Resi Markandya
kembali menuju Bali dan terus menuju Gunung Agung atau disebut juga Ukir Raja.
Beliau diikuti lagi oleh pengiring yang disebut Wong Age.
Sampai
di Gunung Agung beliau mengadakan upacara dengan menanam Panca Datu di Besakih
yaitu di pura basukian sekarang. Setelah itu barulah beliau membangun lahan
pertanian dengan hati-hati untuk mengembangkan kehidupan agraris. Pengembangan
areal pertanian terus dilakukan oleh rombongan Resi Markandya sampai ke Gunung
Lebah. Sampai ke Desa Puakan, di desa inilah beliau mengadakan penataan
kehidupan petani seperti pembagian tanah, dll. Desa itulah terus bernama Desa
Puakan.
Ada
juga beliau mengadakan pembukaan areal pertanian sampai di Desa Sarwa Ada.
Setelah semua pengikutnya mendapatkan areal pertanian untuk mengembangan
kehidupan agraris lalu beliau membangun suatu pasraman yang mirip dengan
pasramannya di Gunung Raung Jawa Timur. Setelah itu kembali Resi Markandya
mendapatkan beberapa kesulitan. Untuk itu Resi Markandya kembali ke Jatim dan
mengadakan samadi.
Dalam
samadi itulah beliau mendapat petunjuk agar melakukan samadi di pasraman beliau
di Bali. Setelah kembali ke Bali lalu beliau mengadakan samadi ternyata Resi
Markandya melihat ada sinar di suatu tempat. Nyala itu ternyata berasal dari
sebatang pohon yang menyala. Di pohon yang menyala itulah Resi Markandya
mendirikan Pura Gunung Raung sekarang.
Karena
berasal dari pohon yang menyala akhirnya tempat itu dinamakan Desa Taro yang
berasal dari kata ”taru” artinya pohon. Pura dan pasramannya dibuat mirip
dengan yang ada di Gunung Raung. Karena itulah pasraman dengan puranya diberi
nama Pura Gunung Raung di Desa Taro sekarang.
Di
Desa Taro ada sapi putih konon keturunan Lembu Nandini. Sampai tahun 1974
keturunan sapi putih itu masih ada beberapa ekor saja. Sapi putih itu sangat
dikeramatkan oleh penduduk di Desa Taro. Dang Hyang Markandya adalah seorang
resi yang menganut paham Waisnawa. Tetapi dengan adanya sapi putih itu dapat
ditarik kesimpulan bahwan Resi Markandya juga amat menghormati keberadaan paham
Siwaistis yang memang merupakan suatu sekte dalam agama Hindu.
Sekte
itu adalah sampradaya atau perkumpulan perguruan nonformal untuk mendalami
ajaran agama Hindu yang merupakan agama yang terbuka untuk siapa saja.
Masing-masing sampradya memang memiliki ciri khasnya sendiri seperti Ista
Dewata yang dipilih dan sistem Adikari atau metode pendalaman kerohanian.
Tetapi dasarnya semuanya sama yaitu kitab suci Weda.
Menurut
Swami Siwanandaa, agama Hindu menyiapkan hidangan spiritual kepada setiap orang
sesuai dengan perkembangan hidupnya. Karena itu tidak ada pertentangan dalam
keanekaragaman sistem sampradaya dalam beragama Hindu tersebut.
Pura Gunung Raung sebagai Pasraman
Pura Gunung Raung ini agak lain
daripada Pura Kahyangan Jagat pada umumnya. Pura ini menghadap ke timur,
sehingga kalau kita sembahyang kita akan menghadap ke arah barat seperti halnya
di Pura Luhur Ulu Watu. Keunikan yang lain adalah Pura Gunung Raung memiliki
empat pintu masuk dari empat penjuru. Pintu masuk dari arah timur, utara dan
selatan dibuat dari Candi Bentar dengan ukirannya. Sedangkan pintu dari arah
barat hanya dengan pintu kecil saja. Apa makna ada empat pintu masuk ini belum
ada sumber yang secara pasti menjelaskan.
Karena
Pura Gunung Raung ini sebagai pasraman tempat mendalami ilmu kerohanian (Para
Vidya) dan ilmu keduniaan (Apara Vidya) maka ada kemungkinan empat pintu
kesemua arah sebagai pengejawantahan pentanyaan Mantra Rgveda I.89.1 yang
menyatakan: A no bhadarah kratavo yantu visavanta. Artinya: Semoga pemikiran
yang mulia datang dari semua arah.
Sepertinya
demikianlah makna adanya empat pintu (P) Pura Gunung Raung sebagai Pasraman
Dang Hyang Markandya. Keunikan yang lain adalah areal pura ini juga sangat
berbeda dengan pura lainnya di Bali. Umumnya letak jaba sisi menuju jaba tengah
terus menuju jeroan pura terletak satu arah. Namun, Pura Gunung Raung sedikit
berbeda. Masuk dari jaba sisi dari arah utara menuju ke selatan.
Sebelah
barat jaba sisi ini terdapat dapur dan hutan kecil. Jaba tengahnya terletak di
selatan jaba sisi. Namun jeroan puranya tidak terletak di selatan jaba tengah
namun terletak di barat jaba tengah. Di areal jaba sisi terdapat bangunan Titi
Gonggang (29), balai kulkul (28) dan gedong tempat busana. Di jaba tengah
terdapat 10 bangunan antara lain balai pertemuan, Pelinggih Dalem Purwa Bumi
(27), Pelinggih Ratu Pasek (26), Pelinggih Ratu Ngerurah (25), Balai Gong
(30-32), Titi Gonggang (29), Balai Kulkul dari pohon Salagui (24), Balai Pegat
(23), Palinggih Batara Sri (22) dan Pelinggih Bale Agung (23?). Sementara di
jeroan pura tidak kurang dari 20 macam bangunan suci. Antara lain yang paling
penting adalah Pelinggih Batara Gunung Raung (1).
Keberadaan
Pura Kahyangan Jagat di Bali umumnya terus tumbuh dari generasi ke generasi.
Berdasarkan prasasti yang dijumpai di Pura Gunung Raung diduga zaman
pemerintahan Raja Anak Wungsu. Kemungkinan Pura Gunung Raung di Taro ini sudah
ada sebelum abad ke-11 Masehi. Karena pura ini terus dikembangkan sesuai dengan
perkembangan zaman maka ada dijumpai Pelinggih Penyawangan Bathara Majapahit
(2). Padahal zaman Majapahit itu ratusan tahun setelah pemerintahan Raja Anak
Wungsu.
Selanjutnya
ada Pelinggih Mundar Mandir (10), pelinggih ini juga disebut Pelinggih Omkara.
Fungsi pelinggih ini untuk mengingatkan umat agar setiap memanjatkan doa agar
senantiasa mengucapkan Omkara saat awal berdoa dan saat menutup doa. Hal itu
memang diajarkan dalam Manawa Dharmasastra II.74. Omkara awal untuk mengarahkan
agar doa tersebut mengarah pada sasaran yang benar dan suci, sedangkan Omkara
sebagai akhir pengucapan doa agar makna memuja itu tidak lepas begitu saja.
Selanjutnya
Pelinggih Ratu Penyarikan (9) adalah pelinggih untuk memuja Tuhan agar kita
mendapatkan tuntunan Hyang Widhi agar bisa menjalani hidup sesuai dengan
tahapan hidup sebagaimana diajarkan dalam ajaran Catur Asrama. Kata ”nyarik”
dalam bahasa Bali artinya tahapan.
Pelinggih
Ratu Rambut Sedhana (8). Makna pemujaan Tuhan sebagai Rambut Sedhana sebagai
wujud motivasi agar umat manusia mengolah isi bumi ini agar dapat menumbuhkan
sarana hidup yang tak terhingga. Kata rambut bermakna sesuatu tak terhitung
banyaknya. Sedhana artinya sarana hidup yang tak terhitung jumlahnya. Mengolah
alam agar senantiasa menghasilkan sarana hidup yang tak terhingga tentunya
tidak mudah. Namun demikian, itulah yang wajib diupayakan oleh umat manusia
dalam mengolah kesuburan alam ini.
Ada
penyawangan sebagai Pelinggih Masceti (3). Pura ini untuk memuja Tuhan dalam
memohon agar tidak terjadi wabah penyakit seperti hama bagi tanaman dan hama,
sebab hewan karena sumber alam itu yang dijadikan tumpuan hidup masyarakat.
Selanjutnya
ada Balai Pengeraos (?) sebagai simbol apa pun yang akan dilakukan hendaknya
didahului dengan musyawarah. Selanjutnya ada Kamulan Agung (11) sebagai
pemujaan leluhur atau Dewa Pitara dari Dang Hyang Markandiya sebagai seorang
pandita utama tentunya harus memberi contoh dalam memuja Tuhan dan Dewa Pitara
dari leluhur beliau.
Di
Pura Gunung Raung ini terdapat juga Pelinggih Penyawangan seperti ke Pura Luhur
Ulu Watu (Pelinggih No. 13? Maksudnya mungkin Penyawangan Gunung Batukaru?
Uluwatu kan baru ada pada Era Danghyang Nirarta?), Gunung Batur (14), Gunung
Sari (15), Gunung Agung (16), Penyawangan ke Campuan Ubud (19), Padmasana (4)
dan ada juga Balai Pingit (7) umumnya sebagai menempatkan Tirtha Pingit.
Pelinggih
Penyawangan tersebut nampaknya didirikan setelah pengaruh Majapahit masuk ke
Bali. Upacara piodalan di Pura Gunung Raung ini lakukan setiap 210 hari yaitu
setiap Buda Kliwon Ugu. Setiap hari purnama diadakan upacara Mesangkepan para
pengurus desa. Pemangku dan anggota desa hadir dalam upacara Mesangkepan itu.
Yang
agak unik di pura ini upacara piodalan dan upacara lainnya cukup dipimpin oleh
pemangku pura. Pemangku dalam memimpin upacara kecil, menengah maupun upacara
besar tidak memakai genta.
Pura
Kahyangan Jagat yang sudah berada sebelum pengaruh Majapahit ke Bali umumnya
dalam memimpin upacara tidak menggunakan pandita dwijati dari keturunan Dang
Hyang Dwijendra yang bergelar Ida Pedanda. Hal ini pun dapat dibahas kembali
dalam melakukan penyempurnaan sistem kepanditaan Hindu yang benar-benar
bersumber dari sastra agama Hindu yang ada. Karena agama itu sebagaimana
dinyatakan dalam Sarasamuscaya 181: Agama ngaran kawarah Sang Hyang Aji.
Artinya agama adalah apa yang dinyatakan dalam kitab suci.
Olih : Babad Bali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar